Kisah Dunia Sufistik & Biografi KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA

H. Achmad Asrori Al Ishaqy RA dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17
Agustus 1951. Beliau
adalah putra ke-empat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama KH. Muhammad
Utsman Al Ishaqy dan ibunya bernama Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi.
Al Ishaqy adalah gelar yang dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah dari Sunan
Giri. Sebab, KH. Utsman adalah keturunan ke-14 dari Sunan Giri. Dari jalur ibu,
silsilah nasab KH. Asrori bersambung dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Jika
dirunut, nasab Yai Rori bersambung dengan Nabi Muhammad SAW pada urutan yang
ke-38. Berikut silsilah nasab Beliau: Achmad Asrori al Ishaqy – Muhammad Utsman
al Ishaqi – Nyai Surati – Kyai Abdullah – Mbah Dasha – Mbah Salbeng – Mbah
Jarangan – Kyai Ageng Mas – Kyai Panembahan Bagus – Kyai Ageng Pangeran Sadang
Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syaikh Fadllullah
(Sunan Prapen) – Syaikh Ali Sumadiro – Syaikh Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan
Giri) – Syaikh Maulana Ishaq – Syaikh Ibrohim Akbar (Ibrohim Asmorokondi) –
Syaikh Jamaluddin Akbar (Syaikh Jumadil Kubro) – Syaikh Ahmad Syah Jalal Amir –
Syaikh Abdullah Khon – Syaikh Alwi – Syaikh Abdullah – Syaikh Ahmad Muhajir –
Syaikh Isa ar Rumi – Syaikh Muhammad Naqib – Syaikh Ali al ‘Iridhi – Syaikh
Ja’far Shodiq – Syaikh Muhammad al Baqir – Sayyid Ali Zainul ‘Abidin – Sayyid
Imam al Husain – Sayyidah Fathimah az Zahro – Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda Yai Rori
akan menjadi seorang tokoh panutan sudah nampak sejak masa muda Beliau. Setelah
menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa
Barat, Yai Rori muda berdakwah kepada anak-anak atau pemuda jalanan. Padahal,
di ndalem ayah Beliau yang berlokasi di kelurahan Jatisrono, Kecamatan
Semampir, ayah Beliau sendiri juga masih memerlukan tenaga Beliau untuk
membantu mengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Darul
‘Ubuudiyyah yang diasuh oleh sang ayah sendiri.
Dengan metode dakwahnya
yang unik, yaitu dengan mengikuti hobi anak-anak jalanan seperti bermain musik,
nongkrong, dan sebagainya, anak-anak muda tersebut sedikit demi sedikit bisa
menerima ilmu yang diselipkan oleh Gus Rori (begitu Yai Rori muda akrab dipanggil)
melalui obrolan ringan ketika mereka semua sedang berkumpul.
Meskipun dalam skala
yang lebih kecil, metode dakwah semacam ini mirip-mirip dengan apa yang dulu
pernah dilakukan oleh para pendakwah Islam generasi awal di Indonesia,
khususnya di tanah Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dimana,
cara Wali Songo berdakwah pada waktu itu adalah melalui proses akulturasi
budaya Islam dan budaya lokal yang telah mengakar kuat di masyarakat. Mereka
tak lantas langsung ‘membabat habis’ budaya-budaya lokal yang pada waktu itu
bisa dibilang ‘kurang Islami’ seperti wayangan, gendingan, gendorenan, dan lain
sebagainya. Namun, budaya-budaya lokal tersebut justru digunakan sebagai sarana
pendekatan ataupun sarana untuk menarik minat penduduk pribumi terhadap Islam.
Sehingga, setelah timbul ketertarikan dalam diri penduduk pribumi, pada tahap
selanjutnya, secara psiklogis mereka tentu juga akan lebih siap untuk menerima
dakwah Islam.
Apa yang dilakukan oleh
Yai Rori muda pun kurang lebih juga seperti itu. Beliau tak langsung melarang
aktivitas-aktivitas kurang produktif (untuk tak menyebutnya: kurang bermanfaat,
seperti nyangkrukan dan lainnya) yang telah menjadi kebiasaan para pemuda
jalanan yang menjadi obyek dakwah Beliau pada waktu itu. Namun,
aktivitas-aktivitas tersebut justru dijadikan oleh Yai Rori muda menjadi
semacam ‘pintu masuk’ untuk mulai mendakwahi dan membimbing mereka. Secara
spesifik lagi, meskipun pelan namun pasti, dalam hal ini mereka dibimbing agar
tak hanya mau ngumpul-ngumpul dengan sesama komunitasnya sendiri saja. Namun
mereka juga dibimbing agar mau ngumpul-ngumpul bersama dengan orang-orang
shalih melalui majlis dzikir
Seiring dengan terus
berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda yang tertarik dengan
metode ataupun konsep dakwah yang diterapkan oleh Gus Rori. Hingga pada
akhirnya, Gus Rori mengajak mereka untuk mengadakan majlis manaqiban dan
pengajian di Gresik. Majlis yang pertama kali ini dilaksanakan di kampung
Bedilan yang di kemudian hari diadakan secara rutin pada tiap bulannya di
tempat tersebut. Majlis ini diisi dengan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir
al Jilany, pembacaan Maulid, dan tanya jawab keagamaan. Majlis ini awalnya
diberi nama jamaah KACA yang merupakan akronim dari Karunia Cahaya Agung. Namun
agar lebih familiar, Gus Rori menyebut anggota jamaah KACA dengan sebutan
Orong-Orong. Secara harfiah,
Orong-Orong adalah binatang melata yang biasa keluar pada malam hari. Secara
filosofis, pemberian nama semacam ini disesuaikan dengan perilaku anak-anak
muda pengikut Gus Rori yang rata-rata memang mempunyai kebiasaan keluar pada
waktu malam hari. Dalam perkembangannya, nama Orong-Orong ini kemudian menjadi
lebih terkenal dibandingkan dengan nama KACA. Dan jamaah Orong-Orong inilah
yang kelak, di kemudian hari ‘bermetamorfosis’ serta menjadi embrio dari
lahirnya jamaah Al Khidmah.
Meski masih muda,
ketokohan Gus Rori yang kharismatik dan netral serta sikap Beliau yang non
partisan terhadap kelompok Islam tertentu ataupun terhadap partai politik
tertentu, pada akhirnya membuat Beliau sangat disegani oleh berbagai kalangan
masyarakat dari strata sosial serta kelompok yang berbeda-beda. Majlis-majlis
Beliau bersifat inklusif serta terbuka bagi siapapun dan dari kelompok manapun.
Sehingga, karena tidak adanya kesan eksklusivisme ini, tak mengherankan jika
dalam majlis-majlis yang Beliau pimpin, para pejabat sipil maupun pemerintahan
yang notabenenya mempunyai pandangan keagamaan atau politik yang berbeda-beda,
sering kali bisa terlihat rukun serta mau untuk duduk bersama-sama dalam sebuah
majlis.
Pada tahun 1983, Gus Rori mendirikan mushola di Kelurahan Tanah Kali
Kedinding. Dalam perkembangannya, ternyata banyak masyarakat sekitar yang
antusias serta tertarik untuk memondokkan anak-anak mereka di kediaman baru Gus
Rori tersebut. Akhirnya, Gus Rori mendirikan masjid dan pondok pesantren yang
kemudian diberi nama Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah.
Riwayat Pendidikan
Yai Rori muda hanya
mengenyam pendidikan formal sampai kelas tiga Sekolah Dasar. Selanjutnya,
seperti umumnya putra kyai di daerah Jawa, Gus Rori menimba ilmu di pondok
pesantren sebagai persiapan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dari
ayah Beliau. Sesuai dengan keinginan sang ayah, pada tahun 1966, pondok
pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Beliau adalah pondok
pesantren Darul Ulum, Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH. DR. Musta’in
Romly, yang juga seorang mursyid tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah.
Setelah setahun mondok
di Peterongan, Gus Rori melanjutkan studi ke pondok pesantren Alhidayah
di desa Tretek Pare Kediri yang diasuh oleh almarhum KH. Juwaini bin Nuh. Di
pesantren ini, Gus Rori mengaji selama tiga tahun. Kitab-kitab yang didalami
kebanyakan adalah kitab tasawuf dan hadits seperti kitab Ihya’ Ulumiddin karya
al Ghazali dan Shahih Bukhari. Meski terhitung cukup singkat, namun banyak
sekali kitab yang dikhatamkan oleh Gus Rori di pondok asuhan Kyai Juwaini ini.
Selepas dari Kediri, Gus
Rori melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren al Munawwir, Krapyak Jogjakarta di
bawah asuhan KH. Ali Ma’shum. Di pesantren ini, durasi belajar Gus Rori hanya
berkisar selama beberapa bulan saja. Selanjutnya, Beliau belajar di salah satu
pesantren di desa Buntet Cirebon yang diasuh oleh KH. Abdullah Abbas. Di
pesantren ini, Gus Rori hanya belajar selama setengah tahun.
Aktivitas Sosial
Kemasyarakatan dan Keagamaan
Jamaah pengikut dari Yai
Rori RA secara garis besar terbagi menjadi dua. Yaitu mereka yang sudah
mengikuti baiat (inisiasi) tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah al
Utsmaniyyah atau disebut murid, dan jamaah yang baru sebatas tertarik dengan
majlis-majlis dzikir yang diperuntukkan bagi siapapun yang mau mengikutinya.
Kelompok kedua ini dinamakan jamaah atau muhibbin.
Di Pondok Pesantren As
Salafi Al Fithrah yang berlokasi di Kelurahan Tanah Kali Kedinding Kecamatan
Kenjeran yang Beliau dirikan dan asuh, tak kurang dari 2000 santri putra-putri
yang mukim, dan 1200 santri yang mengaji pulang-pergi. Lembaga pendidikan formal
di pondok ini bahkan telah tersedia lengkap mulai dari tingkat kanak-kanak
sampai Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk pendidikan non formal yang
dilaksanakan pada malam hari, ada TPQ dan madrasah diniyah.
Sejak Yai Rori RA membuka pengajian rutin bulanan di Pondok Pesantren As
Salafi Al Fithrah ini, jamaah Beliau bertambah dengan pesat. Pengajian rutin
bulanan dihadiri tak kurang oleh 20.000 jamaah yang datang dari berbagai kota
di pulau Jawa. Sedangkan Haul Akbaryang rutin diadakan setiap tahun di tempat
yang sama, dihadiri tak kurang oleh 200.000 jamaah yang berdatangan dari dalam
maupun luar negeri. Selain itu, ada majlis dzikir rutin mingguan dan majlis
manaqiban bulanan yang dihadiri oleh lebih dari 10.000 ribu orang jamaah.
Momen-momen majlis mingguan, bulanan, dan tahunan yang dihadiri oleh
banyak jamaah tersebut sekaligus juga membawa keberkahan tersendiri bagi
masyarakat Kedinding dan sekitarnya. Sebab, dengan adanya majlis-majlis yang
melibatkan banyak massa tersebut, sedikit-banyak roda perekonomian mereka juga
ikut terdongkrak naik. Para pengusaha warung tegal (warteg), para pengusaha
warung kopi/giras, para pengusaha kos-kosan/kontrakan, para abang tukang becak,
para sopir angkot serta taksi, dan berbagai jenis usaha/profesi lainnya, tentu
bisa merasakan perbedaan income atau penghasilan mereka: antara ketika sedang
ada majlis di pondok dengan hari-hari biasa.
Dan dengan didasari atas kesadaran bahwa manusia tidak akan hidup di
dunia selamanya, Yai Rori kemudian berfikir jauh ke depan demi keberlangsungan
pembinaan jamaah yang jumlahnya telah mencapai ratusan ribu ini. Maka
dibentuklah sebuah organisasi keagamaan yang bernama “Jamaah Al Khidmah”. Organisasi ini dideklarasikan secara
resmi pada tanggal 25 Desember 2005 di Semarang Jawa Tengah. Kegiatan utamanya
adalah menjadi semacam Event Organizer (EO) dalam menyelenggarakan Majlis
Dzikir, Majlis Khatmil Qur’an, Maulid, dan Manaqib serta kirim doa kepada orang
tua, para leluhur, dan para guru. Majlis lain yang menjadi bidang garapan dari
jamaah Al Khidmah adalah majlis sholat malam, majlis taklim, majlis lamaran,
majlis akad nikah, majlis tingkepan, majlis memberi nama anak, dan lain- lain.
Ketua Umum Jamaah Al
Khidmah periode I dan II (2005-2014) H. Hasanuddin, SH. menjelaskan bahwa
organisasi ini dibentuk semata-mata agar pembinaan jamaah bisa lebih terarah
serta teratur dan siapapun bisa menjadi anggotanya tanpa harus memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Sampai saat ini,
sepeninggal Yai Rori, jamaah Al Khidmah tetap eksis dalam menyelenggarakan
majlis-majlis dzikir tidak beda dengan seperti ketika Beliau masih hidup.
Bahkan, sepeninggal Beliau, jamaah Al Khidmah ini secara kuantitas justru
mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik di dalam maupun di luar
negeri. Banyak kabupaten/kota maupun provinsi yang pada saat Yai Rori masih
sugeng belum ada jamaah Al Khidmahnya, namun sepeninggal Beliau, jamaah Al
Khidmah bisa muncul dan berkembang pesat di daerah tersebut. Begitu pula dengan
perkembangan di luar negeri. Misalnya saja, sepeninggal Yai Rori, jamaah Al
Khidmah bisa masuk bahkan berdiri sebagai organisasi resmi dengan amaliah rutin
di Thailand bagian selatan dan di Belgia.
Menurut Bung Has, sampai saat ini kepengurusan jamaah Al Khidmah sudah
berdiri di 77 kabupaten/kota dan sembilan provinsi di Indonesia. Sedangkan
kepengurusan di luar negeri sudah terbentuk di Malaysia, Singapura, Thailand,
Belgia, dan Saudi Arabia.
Perjalanan Kehidupan Sufistik
Kyai Utsman RA, ayah Kyai Asrori RA wafat pada bulan Januari 1984 dalam
usia 77 tahun. Enam tahun sebelum meninggal, tepatnya pada hari Senin Pon 17
Ramadlan 1398 H / 21 Agustus 1978 M, Yai Utsman telah mengangkat Yai Rori
sebagai mursyid tarekat yang dipersiapkan untuk menggantikan Beliau.
Ada cerita menarik terkait dengan peristiwa diangkatnya Yai Rori oleh Yai
Sepuh untuk menjadi mursyid ini. Dikisahkan bahwa sejak tahun 1975, Yai Rori
sebenarnya telah dibujuk oleh Yai Utsman agar bersedia dibaiat dan selanjutnya
mau meneruskan tampuk kemursyidan tarekat sang ayah. Tapi Yai Rori selalu
berusaha menghindar dan mencari-cari alasan untuk mengemban amanat yang sangat
berat ini. Salah satu alasan yang sempat diungkapkan adalah: masih ada beberapa
kakak Yai Rori yang lebih tua dari Beliau, tapi kenapa justru Beliau yang lebih
muda yang ditunjuk?.
Namun pada akhirnya, tepat pada tanggal yang telah disebutkan di atas, di
rumah almarhum H. Jamil (ayah dari H. Mas’ud yang berlokasi di desa Kroman
Gresik) barulah Yai Rori bersedia untuk dibaiat sebagai mursyid. Saking
senangnya dengan hal ini, Yai Utsman langsung mengajak sang putra yang telah
lama digadang-gadang agar mau menerima amanat dari para guru ini untuk
berziarah ke makam Kyai Romli Tamim di Peterongan Jombang yang pada waktu itu
juga bertepatan dengan haul Beliau. Peristiwa bersejarah ini, oleh Yai Rori
kemudian diabadikan dengan ‘menduplikasikannya’ ke dalam suatu rangkaian majlis
dzikir untuk para jamaah Beliau pada setiap tanggal 17 Ramadlan. Yaitu, setelah
Ashar diadakan majlis dzikir di sekitar Kroman, dan kemudian dilanjutkan dengan
berziarah bersama-sama serta mengikuti majlis haul ke makan Kyai Romli Tamim di
Jombang. Dan aktivitas ‘napak tilas’ ini sampai sekarang masih dilaksanakn
secara rutin oleh jamaah Al Khidmah.
Dari sang ayah inilah, Yai Rori untuk pertama kalinya menerima pelajaran
dan pendidikan sufistik serta tarekat. Dalam gurauannya, Yai Rori sering
menyebutkan bahwa Yai Utsman adalah ayah, guru, teman, dan sekaligus musuh.
Menjadi ayah saat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi guru saat belajar.
Menjadi teman saat bersama-sama di perjalanan. Dan menjadi musuh saat berdebat
membahas ilmu.
Yai Utsman banyak memberikan dasar dan pengaruh dalam kehidupan sufistik
Yai Rori. Hal ini dikarenakan Yai Utsman sangat terkenal dengan akhlak Beliau
yang mulia. Bahkan, dalam bacaan amaliah khushushi disebutkan bahwa Yai Utsman
ini bukan saja sebagai mursyid tarekat, tapi sekaligus juga mursyid akhlak.
Di antara tarbiyah Yai Utsman kepada putranya Yai Rori adalah;
Pertama; Penanaman sikap rahmatan lil’aalamiin.
Yai Utsman pernah berpesan kepada Yai Rori: “Hadapilah orang awam dengan
sikap belas kasih sayang, tidak sekedar dengan ilmu”.
Kedua; penanaman sikap tawadlu’.
Yai Utsman berpesan kepada Yai Rori agar selalu membawa kitab, atau
setidaknya membawa catatan ketika memberikan mau’idhah, hal ini dilakukan agar
terhindar dari sikap sombong dengan ilmu dan kemampuan yang dimiliki.
Karenanya, semasa sugengnya dulu, Yai Rori juga sering terlihat
membawa/mengantongi, memegang, dan bahkan membuka kitab Iklil ketika memimpin
istighatsah ataupun doa tahlil, meski tak selalu dilihat/dibaca.
Ketiga; tuntunan dan bimbingan rabithah, riyadlah, dan mujahadah.
Melalui ketiga cara ini, Yai Utsman mencoba untuk mengingatkan bahwa
apapun yang diperoleh oleh Yai Rori tidak akan pernah bisa terlepas dari berkah
para pendahulu/guru yang disertai dengan kesungguhan usaha dan ikhtiar
lahir-batin.
Yai Rori juga bukan tipikal orang yang hanya bisa berdakwah dengan ucapan
maupun tulisan saja. Justru tak sedikit pula yang meyakini bahwa antara dakwah
Beliau yang berupa dedawuhan dan tulisan (yang tersebar dalam banyak VCD, MP3,
serta kitab-kitab karya Beliau) dengan dakwah Beliau yang berupa teladan/contoh
perbuatan secara langsung, jika dihitung, jumlahnya akan lebih banyak yang
terakhir disebut ini. Sebab, bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa
ucapan. Dan Beliau tentu mengetahui hal ini serta telah mempraktikkannya.
Agamis Nasionalis
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Yai Rori RA adalah juga seorang
nasionalis (sejati). Ini paling tidak terlihat dari upacara bendera 17 Agustus
pertama kalinya yang di-adakan di Al Fithrah pada tahun 2005. Dengan
menggunakan jubah putih khas Al Fithrah, dan meskipun banyak yang tak bersepatu
(bahkan seperti lazimnya anak pondok, pada waktu itu juga banyak santri yang
tak memakai sandal [baca: nyeker: jw]), pagi itu para santri putra Al Fithrah
mengikuti ‘ritual’ upacara bendera perdana di Al Fithrah. Dan siapa sangka?,
upacara bendera yang (mungkin) pertama kalinya dilakukan oleh pesantren salaf
ini adalah atas dawuh serta instruksi langsung dari Beliau RA.
Instruksi untuk melakukan upacara bendera perdana di Al Fithrah ini tentu
saja mengindikasikan sikap kebangsaan Beliau terhadap pancasila dan NKRI.
Beliau RA yang suatu ketika pernah mengaku bahwa SD saja tak lulus, ternyata
juga seorang Nasionalis. Beliau seolah menyadari sepenuhnya bahwa kenikmatan
berdzikir dan lain sebagainya (yang sudah biasa dijalankan sebagai Wadhifah)
tak akan bisa dikecap jika kenikmatan berupa kemerdekaan tak lebih dahulu
diraih. Dan tentu saja Beliau juga sedang berusaha untuk mengimplementasikan
sebuah hadits yang menyebutkan bahwa “siapa yang tak bisa/pandai berterima
kasih kepada manusia/sesamanya (dalam hal ini adalah mereka, para pahlawan
kemerdekaan), maka (niscaya) ia juga tak akan sebegitu cakap untuk berterima
kasih kepada TuhanNya”.
Selain itu, sebagai bukti sikap nasionalisme Beliau yang lain, setiap
bulan Agustus tiba, Beliau juga menginstruksikan santri pondok yang tergabung
dalam bagian dekorasi untuk membuat bangunan dekoratif dengan warna dasar
merah-putih yang isinya adalah ucapan dirgahayu atas kemerdekaan RI. Jumlahnya
ada dua; satu diletakkan di akses masuk pintu gerbang depan, dan satunya lagi
ditaruh di pojok pertigaan garasi ndalem. Bahkan, kalimat terakhir dalam ucapan
dirgahayu tersebut merupakan dawuh dari Beliau RA sendiri. Dawuh itu berbunyi;
“DAMAI, DAMAI, DAMAILAH !”
KH. Achmad Asrori RA wafat pada tahun 2009, tepatnya pada hari Selasa
dini hari sekitar pukul 02.00 WIB tanggal 18 Agustus bertepatan dengan tanggal
26 sya’ban 1430 H. dalam usia 58 tahun, setelah menderita sakit kurang-lebih
selama tiga tahun.
Pada bulan itu, Yai Rori masih sempat memimpin Haul Akbar di Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan menggunakan tabung oksigen sebagai alat bantu
pernafasan yang disediakan oleh dokter pribadi Beliau. Dan Haul Akbar pada
tahun 2009 di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah tersebut menjadi
kebersamaan Beliau yang terakhir kalinya bersama ratusan ribu jamaah dan
santri-santri Beliau.
Selama menderita sakit berkepanjangan, Yai Rori tetap istiqamah
menghadiri majlis-majlis dzikir yang telah puluhan tahun dibinanya di berbagai
daerah. Hal ini menunjukkan kegigihan Yai Rori dalam mensyiarkan amalan-amalan
para ulama salaf shalih. Hal itu sekaligus juga merupakan wujud nyata kecintaan
Beliau kepada para jamaah Beliau.
Wafatnya Yai Rori merupakan kehilangan besar bagi para murid Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah yang Beliau pimpin dan telah
tersebar hampir di seluruh Indonesia serta beberapa negara di Asia Tenggara.
Wafatlnya Guru tarekat yang santun ini sekaligus juga meninggalkan kesedihan
yang mendalam bagi para pecinta dan pengagum Beliau yang tergabung dalam
organisasi Jamaah Al Khidmah yang Beliau bentuk pada tahun 2005. Dalam kalimat
lain, meninggalnya Beliau laksana kiamat kecil bagi mereka.
Yai Rori RA dimakamkan di masjid lama yang berada di kompleks area Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah. Ketika pembangunan makam dilakukan, ditemukanlah
sumber mata air di sebelah Timur pesarean Beliau. Dan ternyata, mata air
tersebut tawar serta tidak asin seperti layaknya mata air di kebanyakan tempat
yang berlokasi tak jauh dari pantai/laut. Hal ini mengingatkan pada kebiasaan
Beliau semasa sugengnya dulu yang sering dimintai ‘air barokah’ oleh
murid-murid Beliau serta kebiasaan Beliau yang sering terlihat membuka tutup
botol air mineral yang disuguhkan kepada Beliau ketika mengikuti majlis-majlis
Al Khidmah.
Ketika dalam majlis sowanan dan Beliau dimaturi oleh seseorang yang
saudaranya sedang sakit pun misalnya, Beliau biasanya juga akan memintanya
untuk mengobatinya dengan air manaqib atau air khushushi. Pada akhirnya, sumber
mata air yang ada di sekitar pesarean Beliau tersebut dipugar sedemikian rupa
oleh pengurus pondok agar siapapun yang sedang berziarah kepada Beliau, bisa
tetap merasakan kesegaran dan keberkahan air barokah dari Beliau, seperti
halnya ketika Beliau masih sugeng dulu. Wa Allahu a’lam.